Selasa, 19 April 2011

Tujuan Tasybih

Tujuan tasybih
Maksud dan tujuan tasybih antara lain :
a.       Menjelaskan kemungkinan terjadinya sesuatu hal pada musyabbah, yakni ketika sesuatu yang sangat aneh disandarkan kepada musyabbah, dan keanehan itu tidak lenyap sebelum dijelaskan keanehan serupa dalam kasus lain. Contoh :

فَاِنْ تَفٌقِ الأَنَامَ وَأَنْتَ مِنْهُمْ R فَاِنَّ الْمِسْكَ بَعْضُ دَمُّ الْغُزَالِ
Jika kamu melebihi manusia yang lain, sedangkan kamu termasuk dari mereka, maka sesungguhnya minyak misik itu sebagian dari darah kijang. “

Pada syair di atas, ketika penyair menganggap bahwa orang yang dipuji lain dari pada yang lain jika di bandingkan dengan asal usulnya ( sesamanya ), karena keistimewaan yang ia miliki telah menjadikannya sebagai hakikat tersendiri. Maka penyair tersebut membutuhkan alasan sebagai hujjah untuk menjelaskan kemungkinan terjadinya hal tersebut dengan menyerupakan kejadian tersebut dengan kejadian minyak misik, yang mana asal mula minyak misik adalah darah kijang.
  
b.      Menjelaskan keadaan musyabbah, yakni bila musyabbah tidak dikenal sifatnya sebelum dijelaskan melalui tasybih yang menjelaskannya. Dengan demikian, tasybih itu memberikan pengertian yang sama dengan kata sifat. Contoh perkataan An-Nabighah Adz-Dzubyani :

كَاَنَّكَ شَمْسٌ وَالْمُلُوْكَ كَوَاكِبُ R اِذَا طَلَعَتْ لَمْ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
Seakan – akan engkau adalah matahari, sedangkan raja – raja yang lain adalah bintang – bintang, jika matahari terbit maka tak akan ada satu bintang pun yang muncul. “

Dalam syair di atas An-Nabighah menyerupakan orang yang dipujinya dengan matahari dan menyerupakan raja – raja lainnya dengan bintang – bintang karena pengaruh raja yang dipujinya itu mengalahkan semua raja – raja yang lainnya, seperti halnya kemunculan matahari menyembunyikan bintang – bintang ( sinar matahari mengalahkan sinar bintang ). Jadi, ia ingin menjelaskan kondisi raja yang dipuji dan kondisi raja – raja lainnya. Dengan demikian, penjelasan suatu keadaan juga merupakan salah satu maksud dan tujuan tasybih.

c.       Menjelaskan kadar keadaan musyabbah, yakni bila keadaan musyabbah sudah diketahui keadaannyasecara global, lalu tasybih didatangkan untuk menjelaskan rincian keadaan itu. Contoh :

فِيْهَا اِثْنَتَانِ وَأَرْبَعُوْنَ حُلُوْبِهِ R سُوْدًا كَخَافِيَةِ الْغُرَابِ الأَسْحَمِ
Dalam kafilah itu terdapat empat puluh dua onta menyusui yang berbulu hitam bagaikan sayap burung gagak yang hitam berkilau. “
Dalam menyifati seekor singa Al-Mutanabbi juga berkata :

مَا قُوْبِلَتْ عَيْنَاهُ إِلَّا ظُنَّتَا R تَحْتَ الدُّجَى نَارَ الْفَرِيْقِ حُلُوْلًا
Kedua mata singa itu bila dalam kegelapan tidak dapat ditangkap oleh mata kita kecuali disangka sebagai api sekelompok orang yang mendiami daerah itu.”

Pada syair di atas, Al Mutanabbi menjelaskan sifat mata seekor singa dalam kegelapan, ia tampak merah menyala sehingga orang yang melihatnya dari kejauhan akan menyangkanya sebagai api yang dinyalakan oleh sekelompok orang yang tengah bermukim. Seandainya Al-Mutanabbi tidak hendak membuat tasybih, maka ia cukup berkata : “ Sesungguhnya kedua mata singa itu merah “. Namun, karena ia merasa perlu untuk menghadirkan isi hatinya itu dalam bentuk tasybih, maka ia menjelaskan kadar kebesaran warna merah mata singa tersebut.

d.      Menegaskan keadaan musyabbah, yakni bila sesuatu yang disandarkan kepada musyabbah itu membutuhkan penegasan dan penjelasan dengan contoh. Contoh :

اِنَّ الْقُلُوْبَ اِذَا تَنَافَرَ وُدُّهَا R مِثْلُ الزُّجَاجَةِ كَسْرُهَا لَا يُجْبَرُ
Sesungguhnya, tatkala hati sudah hancur rasa kasih sayangnya maka hati itu laksana kaca yang pecahnya ( kehancurannya ) tak dapat ditambal. “  

Syair di atas menjelaskan bahwa hati yang telah tersakiti sehingga kasih sayangnya hancur berantakan tidaklah mudah untuk diobati atau diperbaiki sebagaimana semula. Untuk menegaskan hal itu agar dapat lebih mudah diresapi oleh semua orang, maka penyair menyerupakan hati yang hancur dengan kaca yang terpecah. Kaca yang sudah pecah tidaklah mudah untuk mengembalikannya seperti semula, meskipun dapat di lem atau plaster namun hal demikian hanya dapat merekatkannya saja, tidak dapat mengembalikannya sebagaimana semula. Dan sekalipun dapat direkatkan, bukan berarti bekas – bekas pecah itu menjadi hilang.
Maksud dan tujuan yang demikian ditempuh manakala musyabbah merupakan hal yang bersifat abstrak, mengingat sesuatu yang bersifat abstrak sulit dipahami, tidak sebagaimana hal yang bersifat kongkret. Maka untuk memudahkan pengertian perlu sekali menyerupakannya ( hal yang bersifat abstrak ) dengan hal yang bersifat kongkret.       

e.       Memperindah musyabbah.
Contoh :
سَوْدَاءُ وَاضِحَةُ الجَبين  R كَمُقْلَةِ الظَّبْبِي الْغَرِيْرِ
Wanita berkulit hitam, berdahi lebar itu bagaikan kelopak mata kijang yang mengerjap – ngerjapkan matanya. “

Contoh yang lain, dalam menyifati orang yang disalib, Abul Hasan Al-Anbari berkata :
مَدَدْتَ يَدَيْكَ نَحْوَهُمُ احْتِفَاءً  R كَمَدِّهِمَا إِلَيْهِمْ بِالْهِبَاتِ
Uluran tanganmu kepada mereka dengan penuh penghormatan adalah seperti uluran tangan kepada mereka dengan beberapa pemberian. “

Syair Abul hasan Al-Ambari merupakan kasidah yang sangat masyhur di dunia sastra Arab. Hal ini tiada lain karena menyatakan kebagusan sesuatu yang disepakati oleh seluruh manusia sebagai sesuatu yang jelek dan mengerikan, yakni penyaliban. Ia menyerupakan uluran tangan orang yang disalib ke tiang salib dan dikelilingi oleh sekelomppok manusia dengan uluran tangannya untuk memberikan sesuatu kepada para peminta – minta ketika hidup. Maksud dan tujuan syair di atas adalah untuk memperindah sesuatu. Tujuan tasybih yang demikian sering ditampakkan dalam bentuk pujian, ratapan, keagungan, dan untuk mengundang rasa belas kasihan.

f.       Memperburuk musyabbah.
Contoh :
وَاِذَ أَشَارَ مُحَدِّثًا فَكَأَنَّهُ R قِرْدٌ يُقَهْقِهْ أَوْ عَجُوْزٌ تَلْطِمُ
Apabila ia berisyarat sambil berbicara, maka seakan – akan ia adalah seekor kera yang tertawa terbahak – bahak atau seorang nenek – nenek yang marah – marah. “


            Seorang Arab Badui berkata dalam mencela istrinya :
وَتَفْتَحُ لَا كَانَتْ فَمًّا لَوْ رَأَيْتَهُ R تَوَهَّمْتَهُ بَابًا مِنَ النَّارِ يُفْتَحُ
Ia membuka mulutnya, sebaiknya ia tidak pernah terlahir. Bila engkau melihat mulutnya itu, maka engkau akan menduganya sebagai salah satu pintu neraka yang terbuka. “

Pada syair di atas, penyair menyifati istrinya yang sedang marah dan menyakitkan, sehingga ia menyesalkan keberadaannya, dan untuk itu ia berkata laa kaanat  ( sebaiknya ia tidak pernah terlahir ). Ia menyerupakan mulut istrinya itu ketika terbuka menghamburkan kemarahannya dengan salah satu pintu neraka. Maksud dan tujuan tasybih pada syair di atas adalah menjelekkan sesuatu. Kebanyakan maksud dan tujuan demikian dipakai untuk mengejek dan menggambarkan hal – hal yang tidak disukai.

Ketika posisi musyabbahnya dijadikan sebagai musyabbah bih ( berupa tasybih maqluub ), maka tujuan tasybih juga berbalik arah kepada musyabbah bihi tidak kepada musyabbah.
Contoh perkataan Muhammad bin Wuhaib Al-Himyari :
وَبَدَا الصَّبَاحُ كَأَنَّ غُرَّتَهُ  R وَجْهُ الْخَلِيْفَةِ حِيْنَ يُمْتَدَحُ
Pagi telah muncul, seakan – akan gebyarnya adalah wajah khalifah ketika dipuji. “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar