Bagi Anda yang mau nikah, pilih gadis atau janda? Dari
segi syariat, apakah memang dianjurkan menikahi seorang gadis yang
masih perawan? Apakah ada keutamaannya? Lebih utama mana jika seorang
perjaka berencana menikahi seorang janda karena niatnya ingin menolong?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi pokok bahasan posting kali ini.
Menikah
itu kombinasi ajaib dari sisi-sisi yang saling melengkapi. Ia di satu
sisi adalah karunia, di sisi lain adalah tanggung jawab, di sisi berbeda
adalah kebajikan bagi sesama, dan di berbagai sisi lain ia bisa menjadi
kebutuhan fitrah, sarana memuaskan hasrat birahi secara halal, media
memuliakan cinta sesama jenis dengan cara yang dibenarkan syariat,
menggapai obsesi dengan anak dan harta, dan, beragam sisi lainnya.
Kesemuanya bisa saling melengkapi, saling mengisi dan saling memberi
nuansa indah pada media agung yang disebut Pernikahan.
Berpangkal
dari wujud nikah yang merangkum begitu banyak sisi tersebut, maka orang
yang ingin menikah juga berhak membangun obsesi-obsesi halal seputar
sisi-sisi yang melekat pada media pernikahan.
Ia
berhak membangun obsesi untuk bersenang-senang secara halal, menikmati
masa mudanya, bercengkerama dengan gadis perawan yang telah sah menjadi
istrinya, demikian pula sebaliknya, si istri dengan pemuda idaman yang
telah sah menjadi suaminya.
Itulah
yang diungkapkan oleh Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — kepada
salah seorang sahabat beliau yang baru saja menikahi seorang janda,“Kenapa engkau tidak menikah seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercandaria?”…yang dapat saling menggigit bibir denganmu?” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam satu riwayat disebutkan, “Kalian bisa saling tertawa dan menggembirakan satu terhadap yang lain.” (Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nafaqat, Bab ‘Aunul Mar’ah Zaujaha fi L4aladihi, juz 11, hal. 441).
Di dalam satu riwayat lagi, “Sehingga engkau juga memiliki yang dimiliki anak-anak gadis, berikut air liurnya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Itu
artinya, menikahi seorang gadis juga “memborong” berbagai maslahat dan
kepentingan yang diabsahkan dalam Islam. Maka, orang yang memilih
menikahi gadis yang masih perawan demi tujuan-tujuan halal yang bisa
membantunya untuk semakin bertakwa kepada Allah, jelas telah berada di
jalur yang tepat, dan itu amat diapresiasi dalam Islam, seperti yang
diungkapkan oleh Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — di atas. Tapi,
bagaimanapun, itu hanyalah satu alternatif dari sekian alternatif
pilihan.
Orang
juga berhak menikah dengan wanita yang terbukti subur dan penyayang
terhadap anak, baik ia gadis –melalui penelitian medis, dan juga
kebiasaannya sehari-hari– ataupun janda. Karena memiliki banyak
keturunan juga tujuan absah dalam Islam, bahkan juga sangat dianjurkan.
Nabi bersabda, "Nikahilah wanita yang subur dan sayang anak. Sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umatkudi hari kiamat.”
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan
Menikahi wanita yang tidak dapat beranak, hadits No. 2050. Diriwayatkan
juga oleh An-Nasa’i dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan menikahi wanita
mandul, hadits No. 3227, dishahihkan oleh Ibnu Hibban No. 228).
Ibnu
Hajar memberi penjelasan, “Hadits ini dan hadits-hadits yang senada
yang banyak jumlahnya, meski sebagian di antaranya lemah, memberikan
motivasi untuk menikah dengan wanita yang bisa memberikan keturunan.”
Di
sini, ada sebuah rahasia penting tentang keragaman pilihan dalam
menikah. Tentu, seorang janda yang sudah menikah secara kongkrit bisa
memberi bukti bahwa ia wanita yang subur dan penyayang terhadap anak.
Maka,
bila seorang pria lajang memilih menikah seorang janda beranak dua
misalnya, karena ia melihat wanita itu terbukti subur –dari jarak
kelahiran kedua anaknya– dan tampak begitu sangat menyayangi kedua
anaknya, maka pria tersebut juga berada di garis syariat. Karena
perintah atau anjuran Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dalam
hadits di atas juga sangatlah lugas, siapapun yang melaksanakan
substansi perintah tersebut, meski dengan menikah seorang janda, maka ia
telah menjalankan Sunnah Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam –.
Begitu
pula orang yang menikahi seorang janda karena alasan ingin menolong
janda tersebut. Saat ditinggal wafat istrinya, Khadijah, Rasulullah —
shollallohu ‘alaihi wa sallam — mengalami kesedihan hebat. Saat itulah,
seorang wanita, Khaulah bintu Hakim As Sulamiyah, mengetuk pintu hati
Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dengan pertanyaannya, “Tidakkah engkau ingin menikah lagi, wahai Rasulullah?” Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya, “Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?”
Khaulah pun menjawab, “Kalau engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada pula yang janda.” “Siapa yang gadis?” Tanya beliau lagi. “Putri orang yang paling engkau cintai, ‘Aisyah putri Abu Bakr,” jawab Khaulah. Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi, “Siapa yang janda?” “Saudah bintu Zam’ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu.” Jawab Khaulah.
Tawaran
Khaulah mengantarkan Saudah bintu Zam’ah memasuki gerbang rumah tangga
Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam –. Hati beliau tersentuh
dengan penderitaan wanita Muhajirah ini. Beliau ingin membawa Saudah ke
sisinya dan meringankan kekerasan hidup yang dihadapinya. Lebih-lebih di
saat itu, Saudah memasuki usia senja, tentu lebih layak mendapatkan
perlindungan.
Riwayat
ini menegaskan tentang adanya anjuran menikahi janda bila bertujuan
meringankan beban hidupnya, dan itu termasuk dalam kategori
“tolong-menolong atas dasar ketakwaaan dan kebajikan.” Juga termasuk
yang mendapatkan kabar gembira, “Allah senantiasa menolong seorang hamba selama si hamba menolong sesamanya.”
Suatu saat, Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — pernah bersabda,
“Sesungguhnya
orang-orang Bani Asy’ar itu bila terkena musibah kematian dalam
peperangan sehingga istri-istri sebagian di antara mereka menjanda, atau
keluarga sebagian mereka kekurangan makanan, mereka akan mengumpulkan
makanan-makanan mereka dalam satu buntalan kain, baru mereka bagikan
secara merata di antara mereka dalam satu nampan. Mereka bagian dari
diriku dan aku adalah bagian dari mereka..” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Demikian
ungkapan rasa kasih beliau terhadap para janda. Menikahi janda karena
kondisinya yang miskin dan butuh pertolongan termasuk dari bagian sunnah
yang dapat dipahami dari hadits ini. Dengan demikian, kedua pilihan
tersebut –menikahi gadis atau janda– sama-sama bisa berada di garis
anjuran syariat, keduanya adalah alternatif, dan siapapun berhak memilih
mana yang baginya lebih ia minati.
Nah,
persoalannya, tengoklah kemampuan diri dan juga kapasitas yang ada
dalam diri kita masing-masing. Teliti dan cermati kebutuhan yang
berjalan selaras dengan kondisi jiwa kita, kebutuhan fisik kita,
kecenderungan hati kita, dan segala wujud alat analisa yang tersebar
dalam diri kita.
Praktisnya,
bila seseorang berkeinginan menikahi seorang janda, jangan ia
mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri yang ingin ia capai dengan
menikah. Teliti dan cermati, bila ia menikahi janda tersebut, apakah
segala keinginannya untuk bercengkerama, bersenang-senang secara halal,
melampiaskan kebutuhan ragawinya yang secara fitrah butuh dilampiaskan,
apakah semua itu dapat dicapai?
Kalaupun
tak sepenuhnya, minimal hingga batas ia tak perlu mengumbarnya dengan
cara yang haram! Atau, misalnya dapat dipenuhi sisanya dengan
berpoligami secara sehat, apakah istri pertama (wanita janda yang ia
nikahi tersebut) rela berbagi?
Bila
pilihannya adalah menikahi seorang gadis, dapatkan gadis itu memenuhi
kebutuhannya soal anak misalnya. Kalau memang bisa, adakah kelebihan si
janda dibandingkan si gadis yang dapat mendorongnya untuk lebih memilih
janda tersebut?
Berbagai
pilihan terbentang di depan kita, dan Islam memang agama yang maslahat.
Maka ketika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan mubah tersebut,
gunakanlah kebijakan analisa kita untuk dapat mencapai sebesar-besarnya
maslahat bagi diri kita, agama kita, dunia dan akhirat kita secara
keseluruhan. Gadis atau janda bukanlah masalah, yang menjadi masalahnya:
Dengan siapakah di antara keduanya Anda merasa bisa hidup berbahagia dan sejahtera? Pilihan ada di tangan Anda. Wallaahul muwaffiq. Sumber: majalahsakinah.com
Tags yang terkait dengan hukum menikah: menikahi janda dalam islam, keutamaan menikahi janda, hukum menikahi janda, pahala menikahi janda, hukum menikahi, hukum
menikahi pelacur, hukum menikahi wanita yang pernah berzina, hukum
menikahi wanita hamil menurut islam, hukum menikahi anak tiri, hukum
menikahi sepupu, hukum menikahi wanita non muslim, hukum menikahi janda,
hukum menikahi wanita hamil diluar nikah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar