Janda Dan Putranya
Malam sudah rebah di Pacitan dan gelap yang menyelimuti sejumlah
desa di pinggiran sungai Grindulu, menyebabkan ladang-ladang dan tanah datar
tampak seperti selembar kertas putih raksasa. Di atas salju itu alam
mencatat seluruh kemarahannya. Para lelaki pulang ke rumah sementara
kesunyian mencekam malam. Di sebuah rumah terpencil di salah satu desa
itu tinggal seorang janda.
Ia sedang duduk dekat perapian sambil
memintal wol. Di sampingnya duduk seorang anak laki-laki, putranya
satu-satunya. Tiap sebentar anak kecil itu mengamati api dan ibunya
silih berganti. Gemuruh petir yang menggelegar menggoyangkan rumah
mereka, dan anak kecil itu jadi ketakutan. Ia merangkul ibunya,
berlindung dari kemurkaan alam ke dalam kasih sayang ibunya. Sang ibu
mendekap putranya dan menciumnya, lalu mendudukkannya di atas
pangkuannya seraya berkata: "Jangan takut, anakku, karena alam sedang
membandingkan tenaganya yang hebat dengan kelemahan manusia.
Ada
yang Maha Kuasa di salju yang jatuh dan awan tebal dan angin yang
bertiup kencang itu, dan Ia mengetahui kebutuhan bumi, karenaIalah yang
menciptakannya; dan Ia melihat yang lemah dengan matanya yang pengampun.
Beranilah, anakku.
Alam tersenyum di Musim Semi dan tertawa di Musim
Panas dan menguap pada Musim Gugur, namun sekarang ia menangis, dan
dengan airmatanya ia mengairi kehidupan yang tersembunyi di dalam
tanah.Tidurlah, anakku saya, ayahmu sedang memandang kita dari
Keabadian. Salju dan halilintar membawa kita dekat padanya kali ini.
Tidurlah, sayangku, karena selimut putih ini yang membuat kita
kedinginan, justru menyebabkan benih tetap hangat, dan alam yang seperti
sedang berperang ini justru akan menghasilkan bunga-bunga indah saat
musim semi tiba.
Karena itu anakku, manusia tidak bisa memetik
cinta sebelum perpisahan yang menyedihkan, kesabaran yang menyakitkan,
dan kesukaran yang besar. Tidurlah, anak mungilku, mimpi manis akan
singgah ke dalam jiwamu yang tidak gentar pada malam pekat mengerikan
dan udara dingin menusuk tulang." Anak kecil itu menatap ibunya dengan
kelopak mata yang sudah digayuti kantuk dan berkata: "Ibu, mataku sudah
mengantuk, tapi aku tidak bisa tidur sebelum berdoa."
Wanita itu
memandang wajah anaknya yang manis, penghilatannya dikaburkan oleh
matanya yang berair, lalu berkata: "Ulangi apa yang kuucapkan, anakku –
'Tuhan ampunilah orang-orang miskin dan lindungilah mereka dari musim
dingin, hangatkan tubuh-tubuh mereka yang kurus dengan tanganMu yang
pengampun, lindungilahanak-anak yatim yang tinggal di rumah-rumah yang
menyedihkan, menderita lapar dan dingin. Dengarlah, oh Tuhan, imbauan
para janda yang tak berdaya dan menggigil karena was-was akan nasib
anak-anak mereka. Bukakanlah oh, Tuhan, hati semua manusia, sehingga
mereka bisa memahami kesengsaraan orang-orang yang lemah. Ampunilah
orang-orang yang menderita, yang mengetuk pintu-pintu, dan tuntunlah
para tunawisma ke tempat-tempat yang hangat.
Jagalah oh Tuhan,
burung-burung kecil dan lindungilah pohon-pohon serta ladang-ladang dari
kemarahan halilintar, karena Engkau Maha Pengampun dan Maha Pengasih.'"
Ketika
tidur menangkap jiwa anak itu, ibunya menempatkannya di pembaringan
seraya mencium matanya dengan bibirnya yang bergetar. Kemudian ia
kembali duduk di dekat perapian, memintal wol untuk membuat pakaian bagi
anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar