Minggu, 02 Juni 2013

Janda Dan Putranya

Janda Dan Putranya

Malam sudah rebah di Pacitan  dan gelap yang menyelimuti sejumlah desa di pinggiran sungai Grindulu, menyebabkan ladang-ladang dan tanah datar tampak seperti selembar kertas putih raksasa. Di atas salju itu alam mencatat seluruh kemarahannya. Para lelaki pulang ke rumah sementara kesunyian mencekam malam. Di sebuah rumah terpencil di salah satu desa itu tinggal seorang janda.

Ia sedang duduk dekat perapian sambil memintal wol. Di sampingnya duduk seorang anak laki-laki, putranya satu-satunya. Tiap sebentar anak kecil itu mengamati api dan ibunya silih berganti. Gemuruh petir yang menggelegar menggoyangkan rumah mereka, dan anak kecil itu jadi ketakutan. Ia merangkul ibunya, berlindung dari kemurkaan alam ke dalam kasih sayang ibunya. Sang ibu mendekap putranya dan menciumnya, lalu mendudukkannya di atas pangkuannya seraya berkata: "Jangan takut, anakku, karena alam sedang membandingkan tenaganya yang hebat dengan kelemahan manusia.

Ada yang Maha Kuasa di salju yang jatuh dan awan tebal dan angin yang bertiup kencang itu, dan Ia mengetahui kebutuhan bumi, karenaIalah yang menciptakannya; dan Ia melihat yang lemah dengan matanya yang pengampun. Beranilah, anakku.
Alam tersenyum di Musim Semi dan tertawa di Musim Panas dan menguap pada Musim Gugur, namun sekarang ia menangis, dan dengan airmatanya ia mengairi kehidupan yang tersembunyi di dalam tanah.Tidurlah, anakku saya, ayahmu sedang memandang kita dari Keabadian. Salju dan halilintar membawa kita dekat padanya kali ini. Tidurlah, sayangku, karena selimut putih ini yang membuat kita kedinginan, justru menyebabkan benih tetap hangat, dan alam yang seperti sedang berperang ini justru akan menghasilkan bunga-bunga indah saat musim semi tiba.

Karena itu anakku, manusia tidak bisa memetik cinta sebelum perpisahan yang menyedihkan, kesabaran yang menyakitkan, dan kesukaran yang besar. Tidurlah, anak mungilku, mimpi manis akan singgah ke dalam jiwamu yang tidak gentar pada malam pekat mengerikan dan udara dingin menusuk tulang." Anak kecil itu menatap ibunya dengan kelopak mata yang sudah digayuti kantuk dan berkata: "Ibu, mataku sudah mengantuk, tapi aku tidak bisa tidur sebelum berdoa."

Wanita itu memandang wajah anaknya yang manis, penghilatannya dikaburkan oleh matanya yang berair, lalu berkata: "Ulangi apa yang kuucapkan, anakku – 'Tuhan ampunilah orang-orang miskin dan lindungilah mereka dari musim dingin, hangatkan tubuh-tubuh mereka yang kurus dengan tanganMu yang pengampun, lindungilahanak-anak yatim yang tinggal di rumah-rumah yang menyedihkan, menderita lapar dan dingin. Dengarlah, oh Tuhan, imbauan para janda yang tak berdaya dan menggigil karena was-was akan nasib anak-anak mereka. Bukakanlah oh, Tuhan, hati semua manusia, sehingga mereka bisa memahami kesengsaraan orang-orang yang lemah. Ampunilah orang-orang yang menderita, yang mengetuk pintu-pintu, dan tuntunlah para tunawisma ke tempat-tempat yang hangat.

Jagalah oh Tuhan, burung-burung kecil dan lindungilah pohon-pohon serta ladang-ladang dari kemarahan halilintar, karena Engkau Maha Pengampun dan Maha Pengasih.'"
Ketika tidur menangkap jiwa anak itu, ibunya menempatkannya di pembaringan seraya mencium matanya dengan bibirnya yang bergetar. Kemudian ia kembali duduk di dekat perapian, memintal wol untuk membuat pakaian bagi anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar