Al-Qur’an
mengajarkan bahwa hubungan antar manusia di akhirat kelak berbeda dengan apa
yang ada di dunia ini : [23 :101 ]
yang ada di dunia ini : [23 :101 ]
Apabila
sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada
hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. Di dunia ini kita harus menjalani
kehidupan dengan ikatan yang saling kait-berkait dengan individu lainnya, kita
terlahir dari rahim seorang ibu yang mengandung karena dibuahi oleh seorang
ayah, maka otomatis kita sudah terlahir mempunyai orang- tua, lalu dari
hubungan anak dan orang-tua tersebut muncul hak dan kewajiban yang ditetapkan
oleh ajaran agama. Demikian pula ketika kita beranjak dewasa dan sudah cukup
umur, kita lalu menikah, maka hubungan pernikahan tersebut membuat kita terkait
dengan individu lain yang juga memunculkan adanya hak dan kewajiban yang diatur
oleh ajaran agama. Hubungan tersebut diciptakan Tuhan dengan dibungkus oleh
perasaan : antara cinta dan benci, terpaksa dan sukarela, suka dan tidak suka, semuanya berproses
silih berganti yang menjadi dasar adanya dinamika peradaban manusia. Lalu di saat
Tuhan membangkitkan semua manusia di akhirat untuk dimintai
pertanggung-jawabannya terhadap apa yang dilakukan mereka sehubungan dengan hak
dan kewajiban dunia tersebut, maka semua ikatan termasuk perasaan yang
melandasinya akan dihapus. Jangan anda kira ketika anda sebagai seorang
ayah/ibu yang sedang dituntut atas segala perbuatan anda di dunia, lalu anak-
anak anda akan melakukan pembelaan karena ‘tidak tega’ melihat anda diadili,
demikian pula sebaliknya. Semua individu akan mempertanggung-jawabkan diri
mereka sendiri : [6 :94 ] Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami
sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu
tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu;
dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka
itu sekutu- sekutu Tuhan diantara kamu. Sungguh telah terputuslah ( pertalian)
antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai
sekutu Allah). Bukan cuma manusia lain yang dulunya punya hubungan nasab dengan
kita, bahkan sesuatu yang kita jadikan sandaran kita di dunia juga tidak bisa
berbuat apa- apa, sandaran tersebut bisa berbentuk : Tuhan yang lain, atasan, penguasa,
guru, kiyai, pendeta, dll, semuanya menghadap Allah mengurus diri sendiri.
Bahkan bisa saja terjadi, seorang anak yang di dunia telah kita terlantarkan,
atau seorang istri yang tidak pernah kita didik untuk patuh dan taat kepada
Allah, bersaksi terhadap segala kezaliman kita tersebut, dan kesaksian mereka
akan menyeret kita masuk neraka. [16 :111 ] (Ingatlah) suatu hari ( ketika)
tiap-tiap diri datang untuk membela dirinya sendiri dan bagi tiap-tiap diri disempurnakan
( balasan) apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka tidak dianiaya
(dirugikan). Bagaimanakan cara kita menggambarkan perasaan dan ikatan kita
satu sama lain nantinya di akhirat..?? apakah kita bisa membayangkan perasaan
kita terhadap anak kita yang saat ini kita sayangi, atau suami/istri yang kita kasihi,
ketika nanti dikaherat semua perasaan tersebut sudah dihapus..??. Sebenarnya
apa yang diinformasikan
oleh Al-Qur ’an ini bisa kita
jelaskan melalui akal sehat kita. Kalaulah perasaan yang melandasi hubungan kita
satu sama lain di dunia masih berlaku di akhirat kelak, maka seorang ayah/ ibu
yang masuk surga tidak akan merasa nyaman dan tenteram disana ketika ternyata
anaknya bernasib sial masuk neraka, demikian pula sebaliknya, bagaimana mungkin
seorang istri yang sangat mencintai suaminya ‘ sampai ke pojok surga’ bisa
hidup bahagia ketika mengetahui ternyata si suami yang didambakan dijebloskan
di neraka..? ?. Maka keputusan Allah untuk menghilangkan hubungan nasab dan perasaan
yang melandasinya di akhirat tersebut merupakan suatu keniscayaan dan bisa
diterima akal sehat kita, karena memang demikianlah seharusnya. Allah menjelaskan bagaimana perasaan manusia nanti di surga : [7 :43 ]
Dan Kami cabut
segala macam dendam yang berada
di dalam dada mereka; [15 :47 ]
Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam
yang berada dalam hati mereka,
sedang mereka merasa bersaudara
duduk berhadap- hadapan di
atas dipan- dipan. Tidak ada lagi
perasaan tersinggung, cemburu,
sakit hati terhadap perilaku penghuni surga yang lain. Al-Qur ’an menyuruh kita untuk berpikir soal ini dengan cara memperbandingkannya dengan kehidupan kita di dunia : [56 :60 ] Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan, [56 :61
] untuk menggantikan
kamu dengan orang- orang
yang seperti kamu (dalam
dunia) dan menciptakan kamu kelak
(di akhirat) dalam keadaan yang
tidak kamu ketahui. [56 :62 ]
Dan Sesungguhnya
kamu telah mengetahui
penciptaan yang pertama,
maka mengapakah kamu tidak
mengambil pelajaran (untuk penciptaan yang kedua)? Ayat tersebut menginformasikan bahwa bagaimana persisnya keadaan kita di akhirat kelak merupakan suatu yang tidak bisa kita bayangkan karena belum pernah ada bandingannya di dunia ini. Ibarat kita menyodorkan kalkulator
kepada masyarakat primitif, mereka tentu saja punya alat untuk melakukan
penghitungan seperti batu dan ranting kayu, lalu ketika diberikan kalkulator
untuk melakukan penghitungan, maka pastilah mereka akan kebingungan karena buat
kaum primitif, kalkulator merupakan benda ‘yang tidak pernah terbayangkan’
sebelumnya, sekalipun kalkulator merupakan penyempurnaan dari sarana berhitung
yang ada pada mereka. Demikian juga dengan manusia, saat ini kita punya tubuh
dan pranata/sistem yang kita kenal dalam menjalani kehidupan, apakah kita mampu
membayangkan bagaimana persisnya bentuk tubuh dan sistem kehidupan yang
merupakan penyempurnaan dari apa yang kita miliki saat ini..?? Namun secara
cerdas, ayat Al- Qur’an tersebut menggiring kita untuk memikirkannya, ketika
Allah menyatakan ‘Dan Sesungguhnya kamu telah mengetahui penciptaan yang
pertama, maka mengapakah kamu tidak mengambil pelajaran ’, artinya Allah
menyuruh kita untuk melihat perumpamaannya. Kita bisa membayangkan kalau
seandainya kita dilahirkan kembali ke dunia, memulai lagi proses kelahiran dari
rahim seorang wanita, lahir, menjadi bayi dan tumbuh dewasa, apakah kita akan
berusaha mengulangi kembali kehidupan kita yang dahulu..?? apakah kita akan mencari-cari istri yang kita cintai pada kehidupan terdahulu..?? apakah kita akan berusaha kembali mengumpulkan anak-anak yang kita sayangi dulu.. ?? Apakah kita akan 'dibakar
api cemburu' ketika tahu istri kita dahulu yang telah menitis kepada sosok yang
lain ternyata menemukan jodohnya yang lain pula, atau marah-marah melihat anak
kita di kehidupan terdahulu ternyata menitis menjadi anak orang lain..?? Anda
juga bisa memakai perumpamaan ini untuk periode sebaliknya, jika kehidupan anda
saat ini adalah titisan dari hidup anda sebelumnya, apakah saat ini anda sedang
mencari-cari dimana istri anda dulu..?? atau berusaha menemukan ayah-ibu anda dahulu..??
.Tentu saja tidak demikian, kita akan berproses sesuai jalur kehidupan yang
sudah ditentukan, mencari jodoh sesuai takdir kita, melahirkan anak yang
berbeda. Demikianlah desain hidup kita dahulu, maka itu juga yang berlaku bagi
kita pada kehidupan selanjutnya. Perintah untuk berpikir melalui perumpamaan
tersebut sebenarnya sudah bisa memberikan gambaran
bagaimana nantinya kita di akhirat terkait hubungan antara manusia, bahwa kita akan menjalani kehidupan yang baru sebagai bentuk penyempurnaan kehidupan kita di dunia.. jangan khawatir terhadap suami anda nantinya, apakah masih bersama anda atau sudah ‘dibajak’ oleh para bidadari. Yang sebaiknya anda lakukan adalah mendo ’akan suami dan anak-anak agar mereka selalu dilindungi Allah dan mendapat kebaikan kelak di akhirat, memastikan apakah suami dan anak-anak selalu bisa menjalankan apa yang diperintah oleh Allah, disamping tetap berusaha untuk memperbaiki diri terus-menerus, menjadi istri yang salehah. Suami dan keluarga adalah sarana anda untuk berbakti kepada Allah, menjadi ‘medan tempur’ yang bisa anda manfaatkan untuk meraup pahala sebanyak- banyaknya. Mencintai suami sepenuh jiwa dan raga tentu saja merupakan sikap yang mulia, namun hal tersebut tetap harus dikaitkan dengan kecintaan anda kepada Allah semata.
bagaimana nantinya kita di akhirat terkait hubungan antara manusia, bahwa kita akan menjalani kehidupan yang baru sebagai bentuk penyempurnaan kehidupan kita di dunia.. jangan khawatir terhadap suami anda nantinya, apakah masih bersama anda atau sudah ‘dibajak’ oleh para bidadari. Yang sebaiknya anda lakukan adalah mendo ’akan suami dan anak-anak agar mereka selalu dilindungi Allah dan mendapat kebaikan kelak di akhirat, memastikan apakah suami dan anak-anak selalu bisa menjalankan apa yang diperintah oleh Allah, disamping tetap berusaha untuk memperbaiki diri terus-menerus, menjadi istri yang salehah. Suami dan keluarga adalah sarana anda untuk berbakti kepada Allah, menjadi ‘medan tempur’ yang bisa anda manfaatkan untuk meraup pahala sebanyak- banyaknya. Mencintai suami sepenuh jiwa dan raga tentu saja merupakan sikap yang mulia, namun hal tersebut tetap harus dikaitkan dengan kecintaan anda kepada Allah semata.
Bagaimana Keadaan Seorang Istri di Surga ??????????
Adapun jika
seorang wanita meninggal sebelum dia sempat menikah dengan seorang laki-laki maka
Allah lah yang menikahkannya kelak di surga dengan seorang lelaki dunia,
sebagaimana sabda Rasulullah saw, ”Tidaklah ada di surga seorang bujang.” (HR. Muslim).
Syeikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa jika seorang wanita belum menikah di
dunia maka Allah swt yang menikahkannya dengan seseorang yang menyedapkan
pandangan matanya di surga. Kenikmatan di surga tidaklah terbatas untuk kaum laki-laki
akan tetapi untuk kaum laki- laki dan wanita dan diantara kenikmatan itu adalah
pernikahan. Demikian halnya dengan seorang wanita yang meninggal dalam keadaan sudah dicerai. Demikian pula
terhadap seorang wanita yang suaminya tidak masuk surga, Syeikh Ibnu Utsaimin
mengatakan bahwa seorang wanita yang masuk surga dan belum menikah atau suaminya
tidak termasuk ke dalam ahli surga maka jika wanita itu masuk surga dan di
surga terdapat lelaki dunia yang belum menikah maka seorang dari merekalah yang
menikahinya. Adapun seorang wanita yang meninggal setelah menikah dan dia termasuk ahli surga maka di surga dia akan bersama suaminya yang menikahinya saat meninggalnya. Adapun seorang wanita yang ditinggal
suaminya terlebih dahulu kemudian ia tidak menikah lagi setelahnya hingga dia
meninggal dunia maka wanita itu akan menjadi istrinya di surga. Adapun seorang
wanita yang ditinggal suaminya terlebih dahulu kemudian ia menikah lagi setelah
itu maka wanita itu menjadi istri bagi suaminya yang terakhir walaupun wanita
itu pernah menikah dengan beberapa laki-laki, sebagaimana sabda Rasulullah saw,
” Seorang istri untuk suaminya yang terakhir.” ( Silsilatu al Ahadits ash Shahihah
Lil Albani ) dan perkataan Hudzaifah kepada istrinya, ”Jika engkau mau
menjadi istriku di surga maka janganlah engkau menikah sepeninggalku. Sesungguhnya seorang istri di surga adalah untuk suaminya yang terakhir di dunia. Karena itu Allah swt mengharamkan istri-istri Nabi untuk menikah sepeninggal beliau SAW karena mereka adalah istri- istrinya SAW di surga. ”
08 - " إن هذا لا يصلح . يعني اشتراط المرأة لزوجها أن لا تتزوج
بعده " .
قال
الألباني في "السلسلة الصحيحة" 2 / 162 :
أخرجه
الطبراني في " المعجم الصغير " ( ص 238 ) من طريق نعيم بن حماد حدثنا
عبد الله بن إدريس عن الأعمش عن أبي سفيان عن جابر عن أم
مبشر الأنصارية :
" أن
النبي صلى الله عليه وسلم خطب أم مبشر بنت البراء بن معرور فقالت : إني اشترطت
لزوجي أن لا أتزوج بعده ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم ... " . فذكره . و قال
الطبراني : " تفرد به نعيم " .
قلت : و
هو ضعيف و أما قول الهيثمي في " المجمع " ( 4 / 255 ) : " رواه الطبراني
في " الكبير " و " الصغير " و رجاله رجال
الصحيح " . فهو وهم أو تساهل
منه ، فإن نعيما هذا – و قد
تفرد به - إنما أخرج له البخاري تعليقا ، و مسلم في مقدمة " صحيحه
" . فلا ينبغي إطلاق
عزو حديثه إليهما ، لأنه يوهم أنه محتج به عندهما
! و قوله " بنت البراء ... " لعله خطأ مطبعي ، و الصواب : " امرأة البراء
" و ذلك لوجهين : الأول : أنه كذلك وقع في " المجمع " و لفظه :
" عن أم مبشر أن النبي صلى الله عليه وسلم خطب امرأة البراء بن
معرور ...
" . و الظاهر أن هذا السياق لكبير الطبراني . و
الآخر : أني وجدت للحديث شاهدا قويا مفصلا و لذلك خرجته في هذا الكتاب و إلا فنعيم
من حق الكتاب الآخر فقال البخاري في " التاريخ الكبير " ( 4 / 2 / 285 ) : قال لنا
الجعفي أنبأنا زيد بن الحباب قال : أنبأنا يحيى بن عبد الله بن أبي قتادة
عن محمد بن عبد الرحمن بن خلاد الأنصاري عن أم مبشر الأنصارية عن النبي صلى
الله عليه وسلم قال لها و هي في بعض حالاتها - و كانت امرأة البراء بن معرور
فتوفي عنها فقال : - إن زيد ابن حارثة قد مات أهله ، و لن آلو أن أختار له
امرأة ، فقد اخترتك له ، فقالت : يا رسول الله إني حلفت للبراء أن لا أتزوج بعده
رجلا ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أترغبين عنه ؟ قالت : أفأرغب عنه
و قد أنزله الله بالمنزلة منك ؟ إنما هي غيرة ، قالت : فالأمر إليك ، قال : فزوجها من
زيد بن حارثة و نقلها إلى نسائه ، فكانت اللقاح تجيء فتحلب فيناولها الحلاب
فتشرب ، ثم يناوله من أراد من نسائه . قالت : فدخل علي و أنا عند عائشة فوضع
يده على ركبتها و أسر إليها
شيئا دوني ، فقالت بيدها في صدر رسول الله
صلى الله عليه وسلم تدفعه عن نفسها ، فقلت : مالك تصنعين هذا
برسول الله صلى الله
عليه وسلم ؟ ! فضحك رسول الله صلى الله عليه
وسلم ، و جعل يقول رسول الله صلى
الله عليه وسلم : دعيها ، فإنها تصنع هذا ،
و أشد من هذا " .
قلت : و رجال إسناده ثقات رجال "
الصحيح " ، غير يحيى بن عبد الله و محمد بن عبد الرحمن ، و قد
وثقهما ابن حبان ( 2 / 301 ، 1 / 209 ) و الأول منهما روى عنه جماعة من الثقات
كما في " الجرح " ( 4 / 2 / 161 ) و قال ابن حبان : " روى عنه
أهل المدينة ، كنيته أبو
عبد الله مات سنة ثنتين و سبعين و مائة
" . فالحديث بهذا الشاهد حسن . و الله أعلم .