Selasa, 19 April 2011

KALAM KHABAR


A.   Kalam Khobar
Kalam khabar adakalanya berbentuk jumlah fi’liyah dan ada kalanya juga berbentuk jumlah ismiyah.
1)      Jumlah fi’liyah adalah jumlah yang tersusun dari fi’il ( kata kerja ) dan fa’il ( pelaku pekerjaaan ).
Penyusunan kalam dalam bentuk jumlah ini bertujuan untuk memberikan pengertian tentang adanya kejadian yang berlangsung pada masa tertentu ( terbatas oleh waktu ). Apabila fi’ilnya berupa fi’il mudlari’, terkadang juga memberikan faidah terus menerus berlangsungnya suatu kejadian dengan disertai qarinah ( petunjuk ). Seperti contoh perkataan Thorif :
أَوَكُلَّمَا وَرَدَتْ عُكََاظَ قَبِيْلَةٌ بَعَثُوْا اِلَيَّ عَرِيْفَهُمْ يَتَوَسَّمُ
“ Ketahuilah ! setiap ada kabilah yang datang ke pasar ‘Ukadz, mereka mengutus orang yang paling pandai diantara mereka yang selalu berfirasat “.

2)      Jumlah ismiyah adalah jumlah yang tersusun dari mubtada’ dan khabar.
Jumlah ismiyah mempunyai beberapa faidah, diantaranya adalah menunjukkan pengertian terhadap tetapnya musnad bagi musnad ilaih. Contoh :
اَلشَّمْسُ مُضِيْئَةٌ : Matahari itu bersinar
Jumlah ismiyah di atas menunjukkan arti tetapnya sifat bersinar “ مُضِيْئَةٌ “ ( musnad ) pada matahari “  اَلشَّمْسُ “ ( musnad ilaih ).
Apabila khobarnya tidak berupa fi’il dan didukung oleh adanya qarinah ( faktor penunjuk ), maka terkadang juga mengandung faidah memberikan pengertian terhadap istimrar ( terus menerusnya musnad pada musnad ilaih ).
Contoh :
اَلْعِلْمُ نَافِعٌ  : Ilmu itu bermanfaat ( selalu  memberikan manfaat ).
Pada dasarnya, kalam khabar berfaidah untuk memberi tahu   mukhathab ( lawan bicara ) terhadap hukum ( pengertian ) yang terkandung di dalam kalimat berita tersebut. Contoh :
 حَضَرَ الأَمِيْرُ  : Seorang penguasa telah datang.
Perkataan mutakallim di atas mengandung maksud memberi tahu mukhathab akan kedatangan seorang penguasa.
Selain itu, kalam khabar juga berfaidah untuk memberi pengertiaan terhadap mukhathab bahwa mutakallim adalah orang yang sudah mengetahui tentang hukum yang terkandung di dalam berita yang ia sampaikan. Contoh :
أَنْتَ حَضَرْتَ أَمْسِ    : Kamu datang kemarin.
Maksud perkataan mutakallim di atas bukanlah mutakallim ingin memberi tahu kepada mukhathab tentang kedatangan mukhathab diwaktu kemarin. Akan tetapi perkataan itu mengandung maksud bahwa mutakallim ingin memberikan pengertian ( pemahaman ) terhadap mukhathab bahwa mutakallim sudah mengetahui tentang kedatangan mukhathab diwaktu kemarin.
Hukum ( pengertian ) yang terkandung di dalam kalam khobar disebut juga faidatul khabar. Sedangkan Olehnya mutakallim sudah mengetahui tentang hukum yang di sampaikan disebut lazimul faidah.  

Macam – macam kalam khabar
Apabila tujuan mutakallim adalah memberi tahu ( menyampaikan berita ) kepada mukhathab, maka hendaklah ia mengemas perkataanya dalam bentuk yang ringkas sesuai dengan kadar kebutuhan. Hal ini untuk menghindari terjadinya  omong kosong.
Dari sudut pandang akan kebutuhan kalam khabar terhadap taukid, kalam khabar tebagi menjadi tiga macam, yaitu :
1 )Kalam khabar Ibtida’iy adalah kalam khabar yang tidak membutuhkan taukid ( kata penguat ), karena mukhathab adalah orang yang khaliyudzdzihni ( orang yang bersih dari keraguan dang keingkaran akan berita yang disampaikan oleh mutakallim ). Contoh :
أَخُوْكَ قَادِمٌ   : Saudara laki – lakimu datang.
2 ) Kalam khabar thalabiy adalah kalam khabar yang memerlukan taukid karena mukhathab adalah orang yang ragu – ragu akan berita yang disampaikan. Maka dari itu, hendaklah kalimat berita tersebut disertai dengan taukid. Contoh :
إِنَّ أَخَاكَ قَادِمٌ  : Sungguh, sudaramu datang.
3 ) Kalam khabar inkariy adalah kalam khabar yang sangat membutuhkan taukid karena mukhathab adalah orang yang ingkar terhadap berita yang disampaikan oleh mutakallim. Maka dari itu ia diharuskan untuk menambah kalimat berita tersebut dengan satu atau dua taukid bahkan lebih sesuai dengan kadar yang dibutuhkan agar mukhathab berkenan menerima berita yang ia sampaikan. Contoh : 
إِنَّ أَخَاكَ قَادِمٌ  : Sungguh, sudaramu datang.
atau
إِنَّ أَخَاكَ لَقَادِمٌ  : Sungguh, sudaramu benar - benar datang.
atau
وَاللهِ إِنَّ أَخَاكَ لَقَادِمٌ  : Demi Allah, sesungguhnya sudaramu benar - benar datang.
Adapun adat taukid yang biasa digunakan antara lain : Anna, inna, lam ibtida’ , huruf – huruf tanbih, qasam, huruf – huruf zaidah, pengulangan kalimat, qad dan amma syarthiyah. 

KALAM KHABAR DAN INSYA'

KALAM KHABAR DAN INSYA’
Kalam ada dua macam ; kalam khabar  ( kalimat berita ) dan Kalam insya’ ( kalimat bukan berita ).
1)      Kalam khabar ( kalimat berita ) adalah suatu kalam ( perkataan ) yang mana mutakallimnya dapat dikatakan benar ( orang yang berkata benar ) atau dusta ( orang yang berkata bohong ).
Kebenaran dan kedustaan mutakallim didasarkan pada kesesuaian perkataannya terhadap peristiwa yang terjadi ( kenyataan ). Apabila perkataan mutakallim sesuai dengan kenyataan maka si mutakallim disebut sebagai mutakallim yang benar ( shodiq ). Dan apabila perkataannya tidak sesuai dengan kenyataan maka mutakallim disebut sebagai mutakallim yang berdusta ( kadzib ).
Contoh :
         سَافَرَ زَيْدٌ: Zaid telah bepergian
عَلِيٌّ مُقِيْمٌ        : Ali bermukim
Apabila kedua contoh pekataan di atas sesuai dengan kenyataan ( Zaid benar – benar telah bepergian dan Ali benar – benar mukim ), maka mutakallim disebut sebagai mutakallim yang benar ( shodiq ).
2)      Sedangkan pengertian kalam insya’ adalah kesebalikan dari pada kalam khabar. Yaitu suatu kalam yang mana mutakallimnya tidak dapat disebut sebagai mutakallim yang benar ( shodiq ) atau dusta ( kadzib ). Contoh :
سَافِرْ يَا مُحَمَّدُ!: Wahai Muhammad, bepergianlah !
أَقِمْ يَا عَلِيُّ !    : Wahai Ali, bermukimlah !
Kedua perkataan di atas, merupakan contoh kalam insya’. Kerena kedua contoh tersebut bermakna perintah ( mutakallim memberikan perintah bukan berita ), sehingga kedua perkataan tersebut tidak dapat disimpulkan benar dan salahnya.

Susunan kalimat selain disebut kalam juga disebut jumlah mufidah ( susunan yang memberikan faidah ). Sedangkan asas dasar setiap jumlah mufidah adalah penyandaran ( isnad ). Sehingga setiap jumlah mufidah mempunyai dua komponen utama ( rukun ) yang disebut dengan mahkum ‘alaih ( musnad ilaih ) dan mahkum bih ( musnad ).
-  Musnad adalah kalimat yang disandarkan pada kalimat yang lain ( musnad ilaih ).
- Musnad ilaih adalah kalimat yang disandari oleh musnad.   

Ilmu Ma'ani

Ilmu Ma’ani
Ilmu Ma’ani adalah ilmu yang digunakan sebagai sarana untuk mengetahui keadaan – keadaan lafadz Arab agar dapat sesuai dengan muqtadla al khal. Karena bentuk kalam akan berbeda seiring dengan perbedaan khalnya. Seperti contoh firman Allah SWT. :
وَأَنَّا لا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الأرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا   ( الجن ,10)
“ Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui ( dengan adanya penjagaan itu ), apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka yang menghendaki kebaikan bagi mereka. “

Pada ayat di atas, bentuk jumlah yang jatuh sebelum أَمْ  berlainan dengan bentuk jumlah yang jatuh setelahnya. Jumlah sebelum أَمْ menggunakan fi’il madli yang bershighot mabni majhul ( أُرِيدَ ; bentuk kalimat pasif ). Penyembunyian fa’il dengan menggunakan kalimat pasif ini karena didorong oleh tujuan mutakallim untuk menolak penyandaran nilai buruk pada Allah SWT selaku fa’il. Sedangkan jumlah  yang jatuh setelah  أَمْ menggunakan fi’il madli yang bershighot mabni ma’lum (أَرَادَ ; bentuk kalimat aktif ). Pada jumlah yang kedua ini, fa’il ditampakkan. Hal ini bertujuan untuk menyandarkan nilai baik kapada fa’il ( Allah SWT ).
Pembahasan tentang ilmu ma’ani ini akan di jabarkan ke dalam enam bab, sebagai berikut.

Ilmu balaghah

Ilmu Balaghah
Fashakhakh dan Balaghah
A.Fashahah
A. 1. Arti fashahah
a. Menurut bahasa
fashahah berarti menampakkan perkara secara jelas dan terang. Suatu contoh, seorang anak kecil akan dikatakan fashih saat ia sudah dapat berbicara dengan jelas dan terang.
b. Menurut ishthilah ilmu balaghah
Fashahah merupakan suatu sifat yang dimiliki oleh kalimat, kalam dan mutakalim.
A. 2. Macam – macam fashahah
1. Fashahatul kalimat ( kalimat yang fashiih )
Suatu kalimat ( Kosakata ; bhs. Indo )  dikategorikan sebagai kalimat yang fashiih apabila kalimat tersebut selamat dari : 1 ) Tanafurul huruf. 2 ) Mukhalafatul qiyas. 3 ) Ghorobah.
1.1.   Tanafurul huruf adalah sifat yang terdapat di dalam suatu kalimat yang menyebabkan kalimat tersebut sulit dan berat untuk diucapkan oleh lisan. Hal demikian dapat diketahui dengan naluri perasaan yang normal.
Contoh :
الظَّشُّ
: sebutan bagi tempat yang kasar.
اَلْهُعْخُع
: sebutan bagi tanaman yang dimakan onta.
النُّقَاخ
: sebutan bagi air tawar yang bersih.
المُسْتَشْزِر
: sebutan bagi rambut yang digulung.
Lisan orang - orang Arab merasa kesulitan dalam mengucapkan lafadz – lafadz di atas dikarenakan susunan huruf dan tata letak syakal ( harokat ) yang kurang ideal dan proporsional ( terjadi tanafurul huruf ). Oleh karena itu, empat kalimat di atas tidak termasuk kalimat yang fashih. Contoh lain dalam bahasa jawa adalah kata “ rol – rolan “. Bagi mayoritas lisan orang Jawa sangatlah sulit untuk mengucapkan kata tersebut dengan fashih, dikarenakan ketidak idealan susunan huruf dan tanda bunyi yang terdapat di dalam kalimat tersebut.  
1.2.   Mukhalafatul qiyas adalah kalimat tersebut tidak sesuai dengan kaidah – kaidah ilmu sharaf. Hal demikian dapat diketahui dengan merujuk pada kaidah – kaidah ilmu sharaf.
Contoh :
Al Mutanabi berkata :
فَاِنْ يَكُ بَعْضُ النَّاسِ سَيْفًا لِدَوْلَةٍ فَفِى النَّاسِ بُوْقَاتٌ لَهَا وَطُبُوْلٌ
“ Bila sebagian orang – orang itu menjadi pedang bagi Negara, maka di antara mereka akan ada yang menjadi terompet – terompet dan genderang – genderangnya. “
Dalam syair Al Mutanabi di atas terdapat lafadz                        بوقات ( jamak muannats salim dari lafadz  بوق ). Lafadz بوقات tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lafadz ( kalimat ) yang fashih karena tidak sesuai dengan kaidah ilmu sharaf. Menurut kaidah ilmu sharaf, kalimat بوق tidak memenuhi syarat untuk dibuwat menjadi jamak muannats salim. Akan tetapi kalimat tersebut hanya dapat dijamakkan dengan jamak taksir ; ابواق .
Di dalam syair yang lain al Mutanabi berkata :
إنّ بنىَّ للئام زهده مالى فى صدورهم من موددة
Kalimat موددة pada syair di atas juga tidak termasuk kalimat yang fashih. Menurut kaidah I’lal & Ibdal dalam ilmu sharaf, dua huruf dal tersebut harus diidghomkan ;  مودّة .
1.3.   Ghorobah berarti kalimat tersebut tidak menampakkan arti secara jelas dan jarang digunakan sehingga terdengar asing. Hal demikian dapat kita ketahui dengan memperbanyak menela’ah bahasa arab.
Contoh :
تَكَأْكَأَ
Bermakna اِجْتَمَعَ ( berkumpul )
اِفْرَنْقَعَ
Bermakna  اِنْصَرَفَ( berangkat )
اِطْلَخَمَّ
Bermakna اِشْتَدَّ ( dahsyat )
Ketiga kalimat di atas (تَكَأْكَأَ , اِفْرَنْقَعَ & اِطْلَخَمّ ) termasuk dalam kategori asing karena dalam percakapan orang Arab ketiga kalimat tersebut sangat jarang digunakan. Seperti contoh dalam bahasa Jawa “ geneyo “ bermakna bagaimana. Kata “ geneyo “ adalah kosakata asli penduduk Pacitan. Apabila kata tersebut terdengar di luar daerah Pacitan ( Pekalongan, Indramayu, Banyumas dll ) maka akan terkesan asing dan tidak jelas dalam menunjukkan makna yang dikehendaki oleh orang yang mengucapkannya.
2.      Fashahatul Kalam ( Kalam yang fashiih )
Suatu kalam ( Kalimat ; bhs. Indo )  dikategorikan sebagai kalam yang fashiih apabila kalam tersebut selamat dari :  1 ) Tanafurul kalimat.  2 ) Dla’fut Taklif. 3 ) Ta’qid.
2.1.   Tanafurul kalimat adalah suatu sifat yang terdapat di dalam kalam yang menyebabkan kalam tersebut sulit dan berat untuk diucapkan oleh lisan. Hal semacam ini dapat diketahui dengan naluri perasaan yang normal.
Contoh :
فِى رَفْعِ عَرْشِ الشَّرْعِ يَشْرَع وليسَ قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْر
كَرِيْمٌ مَتَى أَمْدَحْهُ أَمْدَحْهُ وَالْوَرَىمَعِى وَاِذَا مَالُمْتُه لُمْتُه وَحْدِى

Susunan kata yang bergaris bawah di atas merupakan contoh kalam yang tidak fashiih karena susunan dan pilihan kata yang tidak ideal dan proporsional sehingga menyebabkan lisan orang Arab kesulitan dalam pengucapannya. Seperti contoh dalam bahasa Jawa “ kidul rel lor rel “. Bagi lisan  orang Jawa kalimat tersebut sulit untuk di ucapkan dengan fashiih disebabkan susunan dan pilihan kata yang tidak ideal dan kurang proporsional.    
2.2.   Dla’fut taklif berarti kalam ( susunan kalimat ) tersebut tidak sesuai dengan kaidah – kaidah penyusunan kalam yang berlaku dalam ilmu nahwu. Seperti mendahulukan dlamir ( kata ganti ) sebelum menyebutkan marji’nya ( tempat kembalinya dhamir ).
Contoh :
جَزَى بَنُوْهُ أَبَا الْغِيْلان عَن كِبَرٍ وحُسْنِ فِعْلٍ كما يُجْزى سنِمّار
Letak dlamir هُ  pada lafadz  بَنُوْه mendahului marji’nya ; أَبَا الْغِيْلان , hal demikian tidak sesuai dengan kaidah penyusunan kalam yang berlaku dalam ilmu Nahwu. Oleh karena itu, kalam di atas tidak dapat dikategorikan sebagai kalam yang fashih. Menurut kaidah ilmu Nahwu, letak dlamir harus setelah penyebutan marji’nya, sehingga mukhathab dapat dengan mudah menemukan marji’ dlamir tersebut. 

2.3.   Ta’qid berarti kalam tersebut masih samar – samar dalam olehnya menunjukkan makna yang dikehendaki. Hal demikian menyebabkan mukhathab kesulitan dalam memahami maksud perkataan mutakalim. Ta’qid ada dua macam :
a ) Ta’qid Lafdzi adalah ta’qid yang disebabkan oleh keruwetan dalam susunan lafadz. Seperti taqdim ( mendahulukan lafadz yang seharusnya terletak di ahir ), takhir ( mengahirkan lafadz yang seharusnya terletak di awal ), washal ( menyambung suatu lafadz setelahnya ), fashal ( memisah suatu lafadz dengan lafadz setelahnya ) dan sebagainya.
Contoh :
Al Mutanabi berkata :
جَفَخَتْ وَهُمْ لا يَجْفَخُوْنَ بِهَا بِهِمْ شِيَمٌ عَلَى الْحَسَبِ الْاَغَرِّ دَلَائِلُ
“Kemegahan tapi mereka tidaklah sombong dengan kemegahan itu telah ada pada mereka martabat mulia yang menunjukkan. “.
Susunan yang seharusnya adalah :
جَفَخَتْ بِهِمْ شِيَمٌ دَلَائِلُ عَلَى الْحَسَبِ الْاَغَرِّ وَهُمْ لا يَجْفَخُوْنَ بِهَا
“ Kemegahan telah ada pada mereka yang menunjukkan martabat mulia. Tapi mereka tidaklah sombong dengan kemegahan itu “.

Contoh lain dalam bahasa Indonesia :
“ dan pergi ayah saya ibu pasar, ke bersama”.
Kalimat di atas sangatlah ruwet dan sulit dipahami maksudnya. Karena susunan kata pada kalimat tersebut yang acak – acakkan, mendahulukan kata yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan kata yang seharusnya didahulukan dan peletakan tanda baca koma ( untuk menyambung dan memisah ) yang tidak tepat. Sedangkan susunan yang benar adalah :
“ Saya, ayah dan ibu pergi ke pasar bersama “.    
Dla’fut taklif dan ta’qid lafdzi ini dapat diketahui dengan ilmu nahwu.
b ) Ta’qid Maknawi adalah ta’qid ( keruwetan makna ) yang disebabkan oleh penggunaan majaz ( kiasan – kiasan ) dan kinayah ( perumpamaan ) yang tidak mudah dipahami maksudnya.
Contoh :
نَشَرَ الْمَلِكُ أَلْسِنَتَهُ فِى الْمَدِيْنَة ِ
“ Raja telah menyebarkan lidah – lidahnya di kota. “
Sebenarnya mutakalim hendak mengatakan “ Raja telah menyebar mata – matanya di kota “, sehingga lafadz   أَلْسِنَتَهُ   tidak tepat jika digunakan sebagai kiasan dari kata mata – mata. Akan tetapi kata yang tepat untuk digunakan sebagai kiasan dari kata mata – mata adalah lafadz عُيُوْنَه . Jadi, susunan yang benar adalah :
نَشَرَ الْمَلِكُ عُيُوْنَهُ فِى الْمَدِيْنَة
“ Raja telah menyebarkan mata – matanya di kota. “
Contoh dalam bahasa jawa, saat melihat wanita,   sering sekali para pemuda mengeluarkan kata – kata yang menyindir ( nggojloki , red ) salah satu bagian kewanitaannya ( payudaranya ) “ gedange’ “ ( pisang, bhs. Indo ). Secara logika, kata “ gedange’ “ tersebut sangatlah tidak tepat jika digunakan sebagai konotasi atau kiasan dari payudara. Sedangkan kata yang tepat adalah “ kate’se’ “ ( pepaya, bhs. Indo ), karena bentuknya yang mendekati mirip dengan payudara wanita. Contoh lain : “ sido opo udu ( jadi apa bukan ) kalimat tersebut tidaklah dapat dikategorikan sebagai kalimat yang fashiih, karena penggunaan kata udu yang bermakna bukan sangatlah tidak tepat apabila digunakan sebagai konotasi dari kata yang bermakna tidak ( nafi ). Yang betul adalah : “ sido opo ora ( jadi apa tidak ), karena kata ora mengandung makna nafi ( peniadaan ).
Seorang penyair berkata :
سَأَطْلُبُ بُعْدَ الدَّارِعَنْكُمْ لِتَقْرَبُوْا وَتَسْكُبُ عَيْنَايَ الدُّمُوْعَ لِتَجمدا
“ ”
Ta’qid maknawi ini dapat diketahui melalui ilmu bayan.
3.      Fashahatul Mutakallim ( Mutakallim fashiih )
Adalah suatu bakat yang menjadikan mutakallim mampu mengutarakan maksudnya dengan kalam yang fashih pada setiap tujuan.
Fashahah dapat pula diartikan sebagai implementasi makna melalui lafazh-lafazh yang jelas, yang meliputi :
1) Kemudahan pelafalan.
2) Kejelasan makna (tidak gharib).
3) Ketepatan sharaf.
4) Ketepatan nahwu
B. Balaghah
B. 1. Arti Balaghah
a. Menurut bahasa
Balaghah berarti sampai dan berahir.
بَلَغَ فُلَانٌ مُرَادَهُ     “ Fulan telah sampai pada tujuannya “. Dikatakan demikian apabila ia ( fulan ) telah sampai pada tujuannya.
b. Menurut istilah ilmu balaghah
Balaghah merupakan suatu sifat yang dimiliki oleh kalam dan mutakallim.
B.2. Macam – macam balaghah
1. Balaghatul kalam ( Kalam yang baliigh )
adalah sesuainya kalam yang fashiih dengan muqtadlal khal ( situasi dan kondisi ). Khal dan muqtadlanya ini dapat diketahui dengan ilmu ma’ani.
            - Khal adalah suatu faktor yang mendorong mutakallim untuk menyampaikan perkataannya dalam bentuk ( kemasan ) tertentu.
            - Muqtadla adalah suatu bentuk husus yang digunakan untuk menyampaikan perkataan.
Contoh :
- Keinginan memuji adalah khal ( faktor pendorong ) yang mendorong mutakallim untuk mengemas perkataannya dalam bentuk penyampaian yang panjang lebar ( ithnab ).
- Kecerdasan mukhathab juga merupakan khal yang mendorong mutakallim untuk menyampaikan perkataannya dalam bentuk ringkas ( iijaz ).
Maksud memuji dan kecerdasan mukhathab adalah khal, sedangkan bentuk penyampaian panjang lebar dan ringkas merupakan muqtadha. Dan penerapan penyampaian kalam dalam bentuk panjang lebar dan ringkas disebut muthabaqah limuqtadla.           
2. Balaghatul mutakallim ( Mutakallim yang baliigh )
Adalah suatu bakat yang menjadikan mutakallim mampu mengutarakan maksudnya dengan kalam yang baliigh disetiap tujuan.
Setiap kalam ( kalimat ) yang baliigh mesti fashiih, namun tidaklah kalam yang fashiih itu selalu baliigh.
Definisi lain Ilmu Balaghah adalah ilmu untuk menerapkan (mengimplementasikan) makna dalam lafazh-lafazh yang sesuai (muthabaaqah al-kalaam bi muqtadhaaal-haal).

Tujuan ilmu balaghah : mencapai efektifitas dalam komunikasi antara mutakallim dan mukhathab.

Jenis-jenis Ilmu Balaghah :
  1. Ilmu Ma’ani : ilmu yang mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukan maknanya, ilmu yang mengajarkan cara menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtadhaa al-haal.
  2. Ilmu Bayan : ilmu yang mempelajari cara-cara penggambaran imajinatif. Secara umum bentuk penggambaran imajinatif itu ada dua. Pertama, penggambaran imajinatif dengan menghubungkan dua hal. Kedua, penggambaran imajinatif dengan cara membuat metafora yang bisa diindera.
  3. Ilmu Badii’ : ilmu yang mempelajari karakter lafazh dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian makna. Kesesuaian tersebut bisa dalam bentuk keselarasan ataupun kontradiksi.

Seorang yang ingin mempelajari dan menekuni ilmu balaghah terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan tentang ilmu bahasa ( hususnya bahasa arab ), dan  mempunyai bekal pengetahuan ilmu sharaf, nahwu, ma’ani dan ilmu bayan. Disamping itu, ia juga harusmempunyai naluri perasaan yang normal dan  memperbanyak menela’ah percakapan dalam bahasa arab.

Majaz

Majaz
 Pengertian majaz
Menurut arti bahasa majaz berarti melewati. Sedangkan menurut arti istilah, majaz berarti kata yang digunakan bukan untuk makna yang sebenarnya karena adanya ‘alaqah ( hubungan / keterkaitan ) disertai adanya qarinah yang mencegah dimaknai secara hakiki. Hubungan antara makna hakiki dan makna majazi itu kadang – kadang karena adanya keserupaan dan kadang – kadang lain dari itu. Dan qarinah itu daakalanya lafzhiyah dan adakalanya haliyah.
Seperti lafazh “ الدُّرَر  “ digunakan sebagai istilah lain dari kalimat yang fasih, seperti dalam contoh :
فُلانٌ يَتَكَلَّمُ بِالدُّرَرِ
“ Fulan berbicara dengan mutiara “
( Fulan mengeluarkan kata – kata mutiara )
Pada contoh ucapan di atas, lafazh “ الدُّرَر  “ tidak di gunakan sesuai dengan makna aslinya. Jika diartikan dengan makna yang sesungguhnya maka lafazh “ الدُّرَر  “ bermakna mutiara ( jenis batu mulia ). Kemudian dialihkan dengan pengertian kata – kata yang fasih, karena adanya hubungan perserupaan antara keduanya dalam segi keindahannya. Sedangkan faktor yang mencegah diartikannya lafazh tersebut dari makna yang sebenarnya ( hakiki ) adalah adanya qorinah “ يَتَكَلَّمُ  yaitu ucapan. Seperti contoh lain, yaitu lafazh “ الأَصَابِع  “ ( jari – jari ) yang digunakan sebagai ganti lafazh “ الأَنَامِل “ ( pucuk jari – jari ) dalam firman Allah SWT. :
يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آَذَانِهِمْ ) البقرة : 19 (
 “ Atau seperti ( orang – orang yang ditimpa ) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena ( mendengar suara ) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang – orang yang kafir. “ QS. Al-Baqarah : 19 )

Lafazh “ الأَصَابِع  “ ( jari – jari )  tidak digunakan untuk menunjukkan makna yang semestinya, akan tetapi bermakna “ الأَنَامِل “ ( pucuk jari – jari ). Hal ini karena adanya ‘alaqah bahwa pucuk jari merupakan bagian dari jari. Sama juga menggunakan lafazh yang mengandung makna keseluruhan mewakili lafazh yang mengandung makna bagian. Sedangkan yang menjadi qarinahnya adalah tidak mungkin untuk memasukkan keseluruhan jari tangan ke dalam telinga.
Apabila ‘alaqah majaz berupa peserupaan antara makna majazi dan makna hakiki, maka majaz tersebut disebut majaz isti’arah. Sedangkan apabila ‘alaqahnya tidak berupa perserupaan antara makna majazi dengan makna hakiki, maka disebut majaz mursal.

Tujuan Tasybih

Tujuan tasybih
Maksud dan tujuan tasybih antara lain :
a.       Menjelaskan kemungkinan terjadinya sesuatu hal pada musyabbah, yakni ketika sesuatu yang sangat aneh disandarkan kepada musyabbah, dan keanehan itu tidak lenyap sebelum dijelaskan keanehan serupa dalam kasus lain. Contoh :

فَاِنْ تَفٌقِ الأَنَامَ وَأَنْتَ مِنْهُمْ R فَاِنَّ الْمِسْكَ بَعْضُ دَمُّ الْغُزَالِ
Jika kamu melebihi manusia yang lain, sedangkan kamu termasuk dari mereka, maka sesungguhnya minyak misik itu sebagian dari darah kijang. “

Pada syair di atas, ketika penyair menganggap bahwa orang yang dipuji lain dari pada yang lain jika di bandingkan dengan asal usulnya ( sesamanya ), karena keistimewaan yang ia miliki telah menjadikannya sebagai hakikat tersendiri. Maka penyair tersebut membutuhkan alasan sebagai hujjah untuk menjelaskan kemungkinan terjadinya hal tersebut dengan menyerupakan kejadian tersebut dengan kejadian minyak misik, yang mana asal mula minyak misik adalah darah kijang.
  
b.      Menjelaskan keadaan musyabbah, yakni bila musyabbah tidak dikenal sifatnya sebelum dijelaskan melalui tasybih yang menjelaskannya. Dengan demikian, tasybih itu memberikan pengertian yang sama dengan kata sifat. Contoh perkataan An-Nabighah Adz-Dzubyani :

كَاَنَّكَ شَمْسٌ وَالْمُلُوْكَ كَوَاكِبُ R اِذَا طَلَعَتْ لَمْ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
Seakan – akan engkau adalah matahari, sedangkan raja – raja yang lain adalah bintang – bintang, jika matahari terbit maka tak akan ada satu bintang pun yang muncul. “

Dalam syair di atas An-Nabighah menyerupakan orang yang dipujinya dengan matahari dan menyerupakan raja – raja lainnya dengan bintang – bintang karena pengaruh raja yang dipujinya itu mengalahkan semua raja – raja yang lainnya, seperti halnya kemunculan matahari menyembunyikan bintang – bintang ( sinar matahari mengalahkan sinar bintang ). Jadi, ia ingin menjelaskan kondisi raja yang dipuji dan kondisi raja – raja lainnya. Dengan demikian, penjelasan suatu keadaan juga merupakan salah satu maksud dan tujuan tasybih.

c.       Menjelaskan kadar keadaan musyabbah, yakni bila keadaan musyabbah sudah diketahui keadaannyasecara global, lalu tasybih didatangkan untuk menjelaskan rincian keadaan itu. Contoh :

فِيْهَا اِثْنَتَانِ وَأَرْبَعُوْنَ حُلُوْبِهِ R سُوْدًا كَخَافِيَةِ الْغُرَابِ الأَسْحَمِ
Dalam kafilah itu terdapat empat puluh dua onta menyusui yang berbulu hitam bagaikan sayap burung gagak yang hitam berkilau. “
Dalam menyifati seekor singa Al-Mutanabbi juga berkata :

مَا قُوْبِلَتْ عَيْنَاهُ إِلَّا ظُنَّتَا R تَحْتَ الدُّجَى نَارَ الْفَرِيْقِ حُلُوْلًا
Kedua mata singa itu bila dalam kegelapan tidak dapat ditangkap oleh mata kita kecuali disangka sebagai api sekelompok orang yang mendiami daerah itu.”

Pada syair di atas, Al Mutanabbi menjelaskan sifat mata seekor singa dalam kegelapan, ia tampak merah menyala sehingga orang yang melihatnya dari kejauhan akan menyangkanya sebagai api yang dinyalakan oleh sekelompok orang yang tengah bermukim. Seandainya Al-Mutanabbi tidak hendak membuat tasybih, maka ia cukup berkata : “ Sesungguhnya kedua mata singa itu merah “. Namun, karena ia merasa perlu untuk menghadirkan isi hatinya itu dalam bentuk tasybih, maka ia menjelaskan kadar kebesaran warna merah mata singa tersebut.

d.      Menegaskan keadaan musyabbah, yakni bila sesuatu yang disandarkan kepada musyabbah itu membutuhkan penegasan dan penjelasan dengan contoh. Contoh :

اِنَّ الْقُلُوْبَ اِذَا تَنَافَرَ وُدُّهَا R مِثْلُ الزُّجَاجَةِ كَسْرُهَا لَا يُجْبَرُ
Sesungguhnya, tatkala hati sudah hancur rasa kasih sayangnya maka hati itu laksana kaca yang pecahnya ( kehancurannya ) tak dapat ditambal. “  

Syair di atas menjelaskan bahwa hati yang telah tersakiti sehingga kasih sayangnya hancur berantakan tidaklah mudah untuk diobati atau diperbaiki sebagaimana semula. Untuk menegaskan hal itu agar dapat lebih mudah diresapi oleh semua orang, maka penyair menyerupakan hati yang hancur dengan kaca yang terpecah. Kaca yang sudah pecah tidaklah mudah untuk mengembalikannya seperti semula, meskipun dapat di lem atau plaster namun hal demikian hanya dapat merekatkannya saja, tidak dapat mengembalikannya sebagaimana semula. Dan sekalipun dapat direkatkan, bukan berarti bekas – bekas pecah itu menjadi hilang.
Maksud dan tujuan yang demikian ditempuh manakala musyabbah merupakan hal yang bersifat abstrak, mengingat sesuatu yang bersifat abstrak sulit dipahami, tidak sebagaimana hal yang bersifat kongkret. Maka untuk memudahkan pengertian perlu sekali menyerupakannya ( hal yang bersifat abstrak ) dengan hal yang bersifat kongkret.       

e.       Memperindah musyabbah.
Contoh :
سَوْدَاءُ وَاضِحَةُ الجَبين  R كَمُقْلَةِ الظَّبْبِي الْغَرِيْرِ
Wanita berkulit hitam, berdahi lebar itu bagaikan kelopak mata kijang yang mengerjap – ngerjapkan matanya. “

Contoh yang lain, dalam menyifati orang yang disalib, Abul Hasan Al-Anbari berkata :
مَدَدْتَ يَدَيْكَ نَحْوَهُمُ احْتِفَاءً  R كَمَدِّهِمَا إِلَيْهِمْ بِالْهِبَاتِ
Uluran tanganmu kepada mereka dengan penuh penghormatan adalah seperti uluran tangan kepada mereka dengan beberapa pemberian. “

Syair Abul hasan Al-Ambari merupakan kasidah yang sangat masyhur di dunia sastra Arab. Hal ini tiada lain karena menyatakan kebagusan sesuatu yang disepakati oleh seluruh manusia sebagai sesuatu yang jelek dan mengerikan, yakni penyaliban. Ia menyerupakan uluran tangan orang yang disalib ke tiang salib dan dikelilingi oleh sekelomppok manusia dengan uluran tangannya untuk memberikan sesuatu kepada para peminta – minta ketika hidup. Maksud dan tujuan syair di atas adalah untuk memperindah sesuatu. Tujuan tasybih yang demikian sering ditampakkan dalam bentuk pujian, ratapan, keagungan, dan untuk mengundang rasa belas kasihan.

f.       Memperburuk musyabbah.
Contoh :
وَاِذَ أَشَارَ مُحَدِّثًا فَكَأَنَّهُ R قِرْدٌ يُقَهْقِهْ أَوْ عَجُوْزٌ تَلْطِمُ
Apabila ia berisyarat sambil berbicara, maka seakan – akan ia adalah seekor kera yang tertawa terbahak – bahak atau seorang nenek – nenek yang marah – marah. “


            Seorang Arab Badui berkata dalam mencela istrinya :
وَتَفْتَحُ لَا كَانَتْ فَمًّا لَوْ رَأَيْتَهُ R تَوَهَّمْتَهُ بَابًا مِنَ النَّارِ يُفْتَحُ
Ia membuka mulutnya, sebaiknya ia tidak pernah terlahir. Bila engkau melihat mulutnya itu, maka engkau akan menduganya sebagai salah satu pintu neraka yang terbuka. “

Pada syair di atas, penyair menyifati istrinya yang sedang marah dan menyakitkan, sehingga ia menyesalkan keberadaannya, dan untuk itu ia berkata laa kaanat  ( sebaiknya ia tidak pernah terlahir ). Ia menyerupakan mulut istrinya itu ketika terbuka menghamburkan kemarahannya dengan salah satu pintu neraka. Maksud dan tujuan tasybih pada syair di atas adalah menjelekkan sesuatu. Kebanyakan maksud dan tujuan demikian dipakai untuk mengejek dan menggambarkan hal – hal yang tidak disukai.

Ketika posisi musyabbahnya dijadikan sebagai musyabbah bih ( berupa tasybih maqluub ), maka tujuan tasybih juga berbalik arah kepada musyabbah bihi tidak kepada musyabbah.
Contoh perkataan Muhammad bin Wuhaib Al-Himyari :
وَبَدَا الصَّبَاحُ كَأَنَّ غُرَّتَهُ  R وَجْهُ الْخَلِيْفَةِ حِيْنَ يُمْتَدَحُ
Pagi telah muncul, seakan – akan gebyarnya adalah wajah khalifah ketika dipuji. “